Sosok Samin Surosentiko cenderung dilekati stigma negatif oleh
masyarakat. Padahal, ajaran dan prilakunya banyak mengandung nilai-nilai
positif sebagai kearifan lokal. Bagaimana bisa mengubah stigma negatif
yang telanjur melekat pada sosok Samin ?
Ditulis oleh Sunaryo
================
Tulisan ini berawal dari peristiwa yang tidak terduga saat awal Ramadhan
lalu penulis mudik ke kampung halaman di Jepara untuk nyadran. Hari
itu, sebut saja Yu Yati, yang sedang menjaga warungnya didatangi oleh
laki-laki paruh baya yang tinggal tak jauh dari warungnya. Sehari-hari
Yu Yati memanggilnya dengan Lik Jas.
Begitu datang serta merta Lik Jas meminta izin untuk membawa pupuk
setengah kuintal dari warungnya. Yu Yati mengizinkan dengan catatan
tidak terlalu lama. Ditunggu seminggu , Lik Jas tidak kunjung datang ke
warung untuk membayar pupuk. Akhirnya, Yu Yati menyuruh anaknya untuk
menagih uang pupuk. Akan tetapi, di sana justru terjadi selisih paham.
Lik Jas tidak mau membayar dengan dalih tidak pernah mengatakan kalau
hutang pupuk. “Saya kan tidak pernah bilang hutang pupuk dari emakmu.
Saya hanya bilang ingin membawa pupuk dari rumahmu. Dan ternyata emakmu
membolehkan,” begitu kilah Lik Jas. Akibat sikap Lik Jas tersebut, Yu
Yati mendatangkan beberapa warga untuk ngrumpyung Lik Jas. Karena kalah
argumentasi dengan warga dan merasa terdesak, ia mengaku khilaf dan
bersedia membayar di kemudian hari.
Setelah itu Yu Yati menjelaskan duduk persolannya kepada warga. Namun
yang tidak mengenakkan, setelah mendengar penjelasan tersebut warga
seolah dikomanado,” Dasar samin, bawa pupuk kok tidak mau bayar!” Dari
peristiwa tersebut menyeruak pertanyaan-pertanyaan liar di kepala
penulis. Betulkah Lik Jas merupakan bagian dari komunitas samin ?
Betulkah ciri-ciri komunitas samin seperti tergambar pada sosok Lik Jas ?
Bukankah perilaku seperti ditunjukkan Lik Jas kerap juga kita temui
pada masyarakat biasa, mengapa harus dikaitkan dengan komunitas samin ?
Pertanyaan paling esensiil: Betulkah samin atau komunitas samin
berprilaku seperti itu ? Stigma Keliru Dari berbagai literatur yang ada,
komunitas samin atau ajaran saminisme tersebar di daerah Blora, Pati,
Rembang, Kudus, dan Bojonegoro. Sementara itu peristiwa yang terjadi ini
adalah di Jepara. Kalau Lik Jas benar-benar bagian dari komunitas
samin, maka kabar yang menggembirakan bagi komunitas ini karena
ajarannya semakin tersebar ke daerah lain.
Namun yang menyedihkan, komunitas ini lebih banyak dipahami dari sisi
negatif. Ada stigma negatif yang dilekatkan pada komunitas ini. Dalam
kehidupan sehari-hari banyak kita temui hal-hal paradoksal dari stigma
ini. Ketika melihat orang ngeyel dan bertahan pada argumentasi, dengan
mudah orang melekati stigma samin.
Padahal, belum tentu kengeyelan itu jelek. Banyak juga kengeyelan yang
dilandasi oleh keteguhan pendirian dan argumen-argumen yang logis. Bisa
juga orang yang ngeyel tersebut karena memegang prinsip sendiri yang
berbeda dengan orang lain. Pernah suatu kali ada orang yang sangat jujur
dan tidak mau mengikuti arus di lingkungan kerja. Anehnya, dengan mudah
orang-orang di sekitarnya menjuluki dengan predikat samin.
Padahal, kejujuran orang ini dilandasi nilai-nilai agama yang dianutnya.
Pandangan hidupnya juga mengutkan hal tersebut. Hanya saja, orang ini
tidak mau terbawa arus dengan lingkungan. Dalam pemahaman penulis selama
bergaul dengan komunitas samin, mereka justru dikenal sangat jujur dan
mligi. Contoh sederhana, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan sandang
harus bisa dijelaskan secara terbuka asal usulnya dan bagaimana
memperolehnya.
Apakah diperoleh secara halal atau haram. Dalam bahasa mereka disebut
dengan didunungke. Jadi, semua hal yang dikonsumsi dan dikenakan harus
didunungke secara rinci dan logis. Komunitas samin juga dikenal tidak
mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil
barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi
(haknya dicuri). Dalam bahasa komunitas samin disebut dengan
angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk).
Hukum ini berbunyi "Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja
kutil jumput, mbedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat,
berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain.
Hukum ini menjadi pegangan utama komunitas samin. Jadi, patut
dipertanyakan perilaku Lik Jas sebagai representasi masyarakat samin.
Dalam sisi yang lain komunitas samin dikenal memiliki jiwa sosial yang
tinggi.
Mereka bersikap ramah terhadap orang yang bertamu. Seluruh makanan yang
mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan
berapa harganya. Sikap seperti ini sering kali membuat para tamu merasa
risi dan malu karena mereka sangat jujur, pemurah, dan memuliakan orang
yang bertamu. Dan satu hal yang menjadi karakterisik masyarakat samin
adalah pola hidupnya yang sederhana dan tidak berlebihan.
Mereka memanfaatkan alam secukupnya saja dan tidak pernah
mengeksploitasi. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah
memberi penghidupan kepada mereka dan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Mereka berpegang pada prinsip banyu podo ngombe (air
sama-sama diminum), lemah podo duwe (tanah sama-sama dimiliki), godong
podo gawe (daun sama-sama dimanfaatkan). Dengan gambaran di atas sangat
tidak beralasan merepresentasikan perilaku Lik Jas sebagai prilaku
masyarakat samin. Apalagi, memberi stigma negatif pada komunitas ini.
Dan tidak selayaknya mengidentikkan segala yang negatif dengan stigma
samin. Justru kalau mau jujur, banyak perilaku positif dari komunitas
samin yang patut kita tiru dan teladani, utamanya nilai-nilai kejujuran,
kesederhanaan, jiwa sosial, dan kearifannya pada alam. Penulis adalah
pegawai di Dinas Pendidikan Kabupaten Blora. (dikutip dari citizennews.suaramerdeka.com)
Link source : http://www.infoblora.com/2013/07/mengubah-stigma-samin.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar