Jumat, 07 Maret 2014

Mengenang Tirto Adhi Soerjo : Pahlawan dan Bapak Pers Nasional dari Blora

Tirto Adhi Soerjo Sang Perintis Pers Indonesia, pribumi asli Blora. (rs-infoblora)
BLORA. Bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) ke 68 yang diperingati tanggal 9 Februari 2014 seluruh Indonesia, tentunya tak akan melupakan sosok Bapak Pers Nasional yang juga bergelar Pahlawan Nasional dalam dunia surat kabar di Indonesia di zaman kolonial Belanda.

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tirto Adhi Soerjo merupakan Bapak Pers Nasional yang lahir pada tahun 1880 di Blora, Jawa Tengah. Sebagai anak priyayi, beliau bersekolah di Stovia (sekolah Belanda) di Batavia. Dari situ dia sering mengirimkan tulisan - tulisannya dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa ke beberapa surat kabar.

Tirto Adhi Soerjo juga berhasil menerbitkan surat kabar sendiri seperti Soenda Berita (1903-1905), dan Medan Prijaji (1907). Surat kabar Medan Prijaji didirikan bulan Januari 1907. Medan Prijaji adalah surat kabar pertama milik pribumi yang dikelola pribumi dan mulai menjadikan pers sebagai alat politik dan kesadaran semangat berbangsa dan nasionalisme.

Medan Prijaji mengusung motto suara bagi mereka semua yang terperintah. Atau untuk semua yang terjajah. Arti kata Medan Prijaji adalah arena para priyayi, alias kaum kelas menengah yang saat itu terdiri dari para bangsawan, pegawai pemerintahan, dan kaum intelektual. Tirto yakin kaum menengah di Hindia Belanda lah yang bisa mengubah kondisi.

Tulisan Tirto galak mengkritisi kelicikan kolonial Belanda. Karena itu Ki Hajar Dewantara menyebutnya jurnalis modern berpena tajam. Sementara itu murid Tirto, Mas Marco Kartodikromo menyebut tulisan Tirto kerap membuat panik pejabat kolonial.

"Raden MA Tirto Adhi Soerjo, joega seorang bangsawan asali dan joega bangsawan kafikiran. Boemipoetra jang pertama kali mendjabat journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenja penna. Banjak pembesar-pembesar jang kena kritiknya djadi moentah darah dan sebagian besar soeka memperbaiki kelakoeannja, jang koerang sopan," tulis Marco sebagai obituari kematian Tirto. Tulisan ini dimuat dalam Djawi Hiswara terbitan 13 Desember 1918.

Tulisan Tirto yang memotret ketidakadilan di antaranya 'Betapa Satu Pertolongan Diartikan'. Artikel ini menyoroti Aspiran Kontrolir A Simon dan Wedana Cangkrep Purworejo. Kasusnya, ada pemilihan lurah di Desa Bapangan, tetapi karena konspirasi kedua orang ini justru calon yang mendapat suara terbanyak dikriminalisasi dan dihukum. Dipilihlah saingannya yang sama sekali tidak mendapat dukungan dari rakyat.

Tirto marah luar biasa mendengar itu. Dia menyebut A Simon sebagai monyet ingusan. Medan Prijaji digugat dalam kasus ini. Demikian ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku 'Sang Pemula'.

Lalu ada kritik Tirto soal penyalahgunaan wewenang Bupati Rembang Raden Adipati Djojodiningrat dan patihnya Raden Notowidjojo untuk menguasai kursi Bupati Tuban.

Tirto juga menyerang Gubernur Jenderal Idenburg yang melayat Djojodiningrat dengan menyewa iring-iringan 60 taksi. Tirto menyebut ini sebagai pemborosan uang rakyat.

Dia menulis para kepala desa yang memeras rakyatnya di Banten. Memungut pajak seenaknya tanpa aturan. Dalam tulisan yang diterbitkan Medan Prijaji tahun 1909 Tirto menonjok para birokrat kecil di pedesaan.

Seorang Lurah bernama Nada kerap melakukan korupsi. Mulai dari biaya pembangunan balai desa, kambing kurban, hingga uang warisan. Nada lolos dari jerat hukum, dia malah pergi ke Makkah untuk menyuci dosa. Pada masa itu memang ada kepercayaan orang berdosa bisa menghilangkan dosa jika pergi ke tanah suci.

"Untung benar kang Nada si kejam itu, bisa cuci dosanya ke Makkah dan tidak dituntut di muka hakim," geram Tirto.

Cicit Tirto Adhi Soerjo, Okky Tirto yang seorang jurnalis dan peneliti sejarah menjelaskan Medan Prijaji tak cuma menghajar Belanda. Jika ada borjuis-borjuis kecil yang merugikan rakyat, maka tetap akan dihajar. Sesuai dengan motto Medan Prijaji, suara bagi mereka yang terperintah atau yang terjajah.

Tentu saja pemerintah kolonial Belanda tidak begitu saja membiarkan sepak terjang Tirto. Dua kali Tirto ditangkap dan dibuang. Pertama Tirto dibuang ke Telukbetung, Lampung tahun 1910.

Tirto juga dihadapkan ke pengadilan dengan tudingan menghina gubernur jenderal dengan berita iring-iringan taksi. Tanggal 22 Agustus 1912, Tirto diputus bersalah. Dia dihukum enam bulan ke pembuangan di Ambon, Medan Prijaji pun dinyatakan dibredel atau pailit.

Tak hanya itu, seluruh kekayaan Tirto dan modalnya pun dilikuidasi pemerintah Belanda. Berakhir sudah karir sang pelopor pers perlawanan ini. Pada 1913 dia kembali ke Jakarta, sejak itulah sekitar 1914 sampai 1918 dia sakit-sakitan dan meninggal dunia 7 Desember 1918.

Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006. (rs-infoblora)
Link source : http://www.infoblora.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar