Samin dan Ajaran
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko
(1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial
Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa
penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup
besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda
yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah
kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara
fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan
kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan
tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut
mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang
mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif
dan mendalam. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin
meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan
Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran
ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin
terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa
yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin,
pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya,
perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda,
karena sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang
Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir dan anti
kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada
pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontontan, dan sangat mungkin
terjadi pada pada entitas masyarakat samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan
Sastroatmodjo (2003), film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan
hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di
bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi
Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan
intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran
Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten
Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak
dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang
mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan
akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat
realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara,
dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan
jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden
Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya
dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di
Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen.
Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat
kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin”
yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan
langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat
miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif
revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan
sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat
jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi
dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun
pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko
(bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam
dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda
dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat
mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya,
bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul
Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom
kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi
Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai
Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai
dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus
kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang
bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia
bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai
Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun
insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan
yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme
dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang
bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga,
gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak
menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan
pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo,
gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk
“kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai
gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran
Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi
tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis
ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan
Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha
sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran
di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran
Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging.
Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat
yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya
di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus),
Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan).
Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan
mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan
penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di
Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok
membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa
membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda
geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak
kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih
mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa
yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik,
bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang
untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin
selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan
luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi,
remaja, dewasa dan antarwarga Samin.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah
dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin
memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap
ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang
dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan
orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap
bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu
kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih
kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak
lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti
traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah
kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain
kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata
cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang
disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara
hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu),
dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik,
tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni
Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan
tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama
mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan
kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar
warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli
pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi
barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu
cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat
akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani,
hormat dan setia pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan
pembaca semuanya lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan
arif dalam memandang sebuah reailtas yang ada.
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890
pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung,
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat
menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke
seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di
sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta
sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di
Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki
jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun
1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan,
orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti
dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah
Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917,
tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan
Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Wong Sikep
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini
merupakan sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai
alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut
sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan
jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang
mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai
kelompok orang yang tidak jujur.
Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh Samin Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
• tidak bersekolah,
• tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
• tidak berpoligami,
• tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
• tidak berdagang.
• penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat
Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip
dan falsafah hidup Masyarakat Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun
2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada
generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu
mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan
Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak.
Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan.
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
• Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak
membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah
mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam
hidupnya.
• Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
• Bersikap sabar dan jangan sombong.
• Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama
dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin,
roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan
pakaiannya.
• Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati.
Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur
“ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama,
orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat
Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat
Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat
Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang
amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati)
ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional
kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah
negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen
kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "
Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya
atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab
Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko
masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi,
Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten
Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada
1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah
banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda
menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan
atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin
yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka
giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah
berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga
banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya
sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40
hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh
asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya,
Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan
meninggal di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan
Samin. Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan
ajarannya di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar
pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya
ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu
pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan
ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak
jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda
menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan
dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan
uang pada petugas pajak, "
Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "
Yo duwitmu"
(bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan
uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya
di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi
menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang
Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa
Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat
desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah,
dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan
makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di
Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda
terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an,
perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan
terhenti.
Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin
tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya,
ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan
Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.
Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari
bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai
krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian
wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah
tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan
kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya
sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau
generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin
terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan
kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung
terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat
tinggalnya jauh.
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan
itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk
menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki
diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “
Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini
seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama
telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko
pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):
Basa Jawa Terjemahan“
Saha malih dadya garan, "Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi, untuk melatih budi yang ditata,
palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,
ambudya atmaja 'tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.” mudah-mudahan menjadi tuntunan."
Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka
memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak
pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin
yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka
ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka.
Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan
sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam)
mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau.
Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak
tergantung pada pemakainya.
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan
rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah
berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan,
kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih
tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur.
Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa
keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.
Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain
nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur
tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang
berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan,
perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara
sederhana.
Masyarakat Samin saat ini
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin.
Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam
pertanian, serta menggunakan peralat rumah tangga dari plastik,
aluminium dan lain-lain.
source link :
http://www.infoblora.com/2012/08/samin-dan-ajaran_21.html
Referensi
• Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah
• Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
• Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
• Halaman : xiii + 164
• Astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran
hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di
bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi
Unnes